Warga Kota Jayapura Antusias Nantikan Gas Metana

Pipahdpedenya.com – Bila rencana Dinas Kebersihan Kota Jayapura terealisir, dalam tiga tahun lagi tumpukan sampah yang sudah diolah dapat diubah jadi bahan bakar memasak dan melistriki rumah.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Koya Koso, Distrik Abepura, tengah menyiapkan instalasi penyaluran gas metana dari hasil pengolahan sampah ke rumah warga sekitar.

Begitu mendengar kabar kalau warga akan mendapat gas dari dari TPA, seorang warga bernama Yaret Manobi mengaku sangat gembira.

Pasalnya, Yaret menghabiskan 20-25 liter minyak tanah dalam sebulan untuk memasak saja. Warga Koya Koso, Jayapura ini juga sesekali menggunakan kayu sebagai bahan bakar agar konsumsi minyak tanah dapat dikurangi hingga 10 liter per bulan.

“Kami sudah dapat informasi dari Ondoafi Koya Koso melalui Kepala Dinas PUPR Kota Jayapura, bahwa di TPA ada pengelolaan sampah jadi gas metana,” kata Yaret saat ditemui di Koya Koso, Kamis (21/12/17).

Yaret mengaku, akan bersabar menunggu gas metana diperkirakan baru dapat dinikmati warga dalam tiga tahun lagi. Asalkan gratis, masa tunggu dianggap sepadan karena warga dapat menghemat ongkos kayu dan minyak tanah yang selama ini harus dikeluarkan untuk memasak.

Tetangga Yaret, Hidiyawati, mengatakan 80 keluarga di sekitar TPA sudah mendapatkan informasi soal program TPA Koya Koso untuk mengubah sampah jadi gas metana. Seperti Yaret, Hidiyawati ingin mengirit ongkos bahan bakar memasak.

“Selama ini pakai minyak tanah, dalam sebulan bisa habis 20 liter, yang dihargai Rp 7 ribu per liternya. Saya yakin program dari Pemkot Jayapura bisa berhasil,” kata Hidiyawati bersemangat.

Seiring meningkatnya jumlah penduduk di Kota Jayapura, volume sampah baik limbah rumah tangga, pertokoan, dan lainnya meningkat setiap tahun.

Hingga kini volume angkutan sampah menuju TPA Koya Koso, Distrik Muara Tami, sudah mencapai 36 ton setiap hari. Dari jumlah ini diperkirakan bisa dihasilkan gas metana atau energi listrik sedikitnya lima megawatt.

Dalam upaya mengolah sampah agar lebih bermanfaat, Pemkot Jayapura dengan dana APBN mencanangkan pengolahan sampah menjadi gas metana yang ditargetkan bisa dinikmati mulai 2020.

Turut Mencegah Pemanasan Global

Sejumlah Kota dan kabupaten di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Cirebon, Kupang, sudah memanfaatkan gas metana untuk memasak dan menerangi rumah dengan teknologi biodigester.

Teknologi ini mengubah sampah basah yang disimpan di dalam lubang tertutup menjadi gas metana yang potensial menjadi bahan bakar pengganti elpiji. Dari lubang pengolahan pipa penyalur gas harus dibangun ke rumah penduduk.

Di Kota Jayapura, pemerintah daerah setempat membuat satu lokasi sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk mengolah sampah menjadi gas metana, yang terletak di Koya Koso.

Selain satu-satunya yang punya rencana pengolahan dengan biodigester, TPA Koya Koso juga merupakan satu-satunya di Provinsi Papua yang menggunakan proses pengolahan sampah dengan sistem sanitary landfill atau penyimpanan sampah di dalam tanah sehingga mengurangi kadar pencemarannya lebih lanjut.

Diatas lahan seluas 20 hektar, komponen biogas dihasilkan dari limbah bekas makanan, sayur-mayur dan buangan hijauan lain. Jika tak diolah, limbah ini bisa melepas gas metana ke udara dan menyebabkan pemanasan global.

“Tentu saja CH4 (gas metan) sangat berpengaruh terhadap pemasanasan global, sebab 1 ton CH4 setara dengan 21 ton CO2,” kata dosen jurusan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cenderawasih Jayapura, Darwanta.

Membiarkan sampah organik melepas gas metana ke udara secara tidak langsung maupun langsung, lanjut Darwanta, menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfir, yaitu peningkatan jumlah gas secara global, yang diantaranya gas karbon sehingga berdampak pada pemanasan global. Karena itu pengolahan gas sampah jadi gas metana juga merupakan upaya pemeliharaan lingkungan.

Tantangan Pengerjaan

Pemerintah Kota Jayapura menjanjikan penyiapan pipa gas dan depot penampung gas agar hasil olahan metana dapat disalurkan ke rumah warga dengan radius satu kilometer dari TPA.

“Sementara ini belum bisa dimanfaatkan, karena pipa penyalurnya belum ada, karena baru bisa dianggarkan 2018. Kami bikin penampungan gas dulu, penyaluran ke warga kami pakai pipa paralon jenis PVC karena lentur. Gratis, namun bila dari Dinas mau jual atau bagaimana dilihat saja nanti,” kata Koordinator Wilayah TPA Koya Koso Ahmad Toriyanto.

Secara keseluruhan warga yang bermukim di sekitar TPA Koya Koso berjumlah 510 Kepala Keluarga ditambah dengan warga yang ditinggal di perumahan Brimob berjumlah 40 KK.

“Kalau memang gasnya bisa mencapai kami bisa salurkan ke perumahan Brimob juga. Kalau penampungan kami bikin sebanyak mungkin. Awalnya kami simpan dulu penampung dari fiber semacam penampungan air. Tapi kalau orang pusat mau ambil alih berarti orang pusat yang bikin penampungnya,” kata Ahmad.

Beberapa daerah dan kelompok komunitas telah membuktikan keberhasilan metode biodigester ini.

Di Pengalengan Jawa Barat, sekelompok peternak sapi menggunakan kotoran sapi sebagai bahan baku penghasil gas metana.

Sementara di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur sampah warga adalah bahan baku pengolahan gas.

Dengan lahan seluas 4,75 hektare, sedikitnya 40 kepala keluarga (KK) disekitar Pengelola Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di Banjarsari telah menikmati memasak menggunakan gas metana.

“Prosedur pengolahan sampah menjadi gas metana melalui penangkapan gas pada sel-sel yang telah dilengkapi instalasi perpipaan. Gas metana yang timbul dari timbunan sampah akan mengalir melalui pipa-pipa tersebut,” kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bojonegoro, Nurul Azizah melalui pesan singkat, pada Rabu, 10 Januari 2018.

Gas metana yang dihasilkan dari pengelolaan sampah selain membantu keperluas memasak atau rumah tangga masyarakat sekitar TPA, kata Nurul, kata Nurul, juga dimanfaatkan untuk kegiatan pembuatan bahan bakar minyak (BBM) di TPA setempat.

Agar gas metana tetap mengalir, kata Nurul, sampah yang ditimbun merupakan sampah campuran organik, anorganik dengan komposisi 40-60 persen yang ditimbun dalam sel-sel dan tertutup tanah pada bagaian atasnya.

Tantangan ya, menurut Nurul adalah pada penyiapan instalasi dan pemeliharaan alat.

“Kendala dalam pemasangan instalasi membutuhkan bahan pabrikan dengan biaya yang relatif mahal,” kata Nurul.

Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, biaya yang dipandang tinggi adalah salah satu faktor yang menyebabkan belum maksimalnya potensi sampah masyarakat dimanfaatkan sebagai sumber biogas di Indonesia.

Saat ini diperkirakan sedikitnya 38 kab/kota di seluruh Indonesia sudah memiliki fasilitas pengolahan sampah menjadi penghasil gas atau listrik.

Sharing is caring!